Rabu, 16 Oktober 2013

laporan magang ikan patin ( Pangasius pangasius )

I. PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
            Peningkatan jumlah konsumsi ikan pada masyarakat memerlukan penambahan jumlah produksi perikanan. Produk perikanan tersebut diperoleh dari kegiatan budidaya dan usaha penangkapan ikan. Namun, hasil tangkapan dari perairan umum telah berkurang sehingga diharapkan adanya usaha budidaya yang dapat berperan serta dalam penyediaan ikan-ikan yang diminati oleh masyarakat setempat.
            Pengembangan usaha budidaya sangat tergantung pada pengadaan benih. Semakin meningkat usaha budidaya, maka permintaan benih juga akan semakin meningkat pula, baik melalui Balai Benih Ikan (BBI) yang ada di suatu daerah maupun dari usaha pembenihan milik rakyat. Dengan adanya usaha  pembenihan, diharapkan dapat membantu dalam mengatasi atau memenuhi permintaan benih yang semakin meningkat. Sehingga kekurangan benih bukan lagi merupakan kendala dalam kegiatan usaha budidaya.
            Usaha pembenihan merupakan usaha yang sangat penting dalam sektor budidaya perikanan, karena dalam melakukan budidaya faktor penyediaan benih adalah mutlak. Kekurangan benih ikan merupakan kendala bagi peningkatan produksi. Secara umum dapat dikemukakan bahwa kelemahan kegiatan pembenihan terletak pada rendahnya kelangsungan hidup yang biasanya disebabkan oleh kekurangan makanan, adanya perubahan suhu yang besar, faktor cahaya, salinitas, dan kadar oksigen terlarut.
           
Benih ikan yang diperoleh dengan cara pembenihan tradisional, tingkat keberhasilannya masih sangat terbatas atau rendah, dimana kemampuan dan peralatan yang biasa digunakan oleh petani masih terbatas. Untuk itu, supaya memperoleh hasil yang memuaskan atau maksimal, kita dapat melakukan pemijahan secara buatan supaya telur yang diperoleh atau didapat jumlahnya maksimal. Dalam penetesannya pun dapat dikontrol demi mendapatkan benih yang lebih banyak, baik dan berkualitas.
Saya tertarik mengambil judul magang mengenai Teknik Pembenihan Ikan Patin ini, karena di situ kita mempelajari dan melakukan mulai dari pemilihan induk yang baik yaitu induk telah matang gonad dan siap untuk dipijahkan kemudian cara penyuntikan dan pemberian dosis yang tepat kemudian kalau dilakukan striping bagaimana menstriping yang benar, kemudian setelah menjadi larva sampai benih bagaimana cara pemberian pakan yang benar.

1.2.Tujuan dan Manfaat
            Tujuan dari praktek magang ini adalah untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam tentang pembenihan ikan patin (Pangasius pangasius) secara langsung di Balai Benih Ikan Sentra (BBIS) Sungai Tibun Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau. Dan juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi serta mencari solusi pemecahan permasalahan tersebut.
            Manfaat yang diharapkan dari praktek magang ini adalah dapat melakukan praktek pembenihan ikan patin (Pangasius pangasius) secara langsung di lapangan, menambah wawasan, pengalaman dan keterampilan mahasiswa dalam menerapkan ilmu yang ditekuni untuk dijadikan bekal kedepannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin (Pangasius pangasius)
            Klasifikasi ikan patin (Pangasius pangasius) menurut Saanin (1984) diacu dalam Subagja 2009 adalah sebagai berikut :
Ordo               : Ostariophyri
Subordo          : Siluroide
Famili             : Pangasidae
Genus              : Pangasius
Spesies             : Pangasius sp
Ikan patin (Pangasius sp) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Kepala ikan patin relatif kecil, mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah (merupakan ciri khas golongan catfish). Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Anonim 2006 diacu dalam Subagja 2009).
Morfologi ikan patin (Pangasius sp) mempunyai badan memanjang dan pipih, posisi mulut sub terminal dengan 4 buah sungut. Sirip punggung berduri dan bersirip tambahan serta terdapat sirip lengkung mulai dari kepala sampai pangkal sirip ekor. Bentuk sirip tersebut agak bercagak dengan bagian tepi berwarna putih dan garis hitam di tengah. Ikan ini mempunyai panjang maksimum 150 cm (Subagja 2009).
Ikan patin sangat toleransi terhadap derajat keasaman (pH) air. Artinya, ikan ini dapat bertahan hidup pada kisaran pH air yang lebar, dari perairan yang agak asam (pH 5) sampai perairan yang basa (pH 9) (Subagja 2009). Kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan ikan patin adalah berkisar antara 3-6 ppm, sementara karbondioksida yang bias ditolerir berkisar antara 9-20 ppm, dengan alkalinitas antara 80-250 (Subagja 2009). Suhu air media pemeliharaan yang optimal berada dalam kisaran 28-30°C (Khairuman dan Suhenda 2002 diacu dalam Subagja 2009).

2.2. Pembenihan Ikan Patin (Pangasius pangasius)
            Pembenihan adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam pematangan gonad , pemijahan dan pembesaran larva hasil penetasan sehingga menghasilkan benih yang siap ditebar di kolam, keramba atau ditebar kembali keperairan umum. Secara umum pembenihan pada ikan dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu :  1) Pembenihan secara alami adalah kegiatan untuk memproduksi benih yang diperoleh semata-mata dari hasil pemijahan induk ikan yang ada di alam tanpa ada campur tangan manusia; 2) Pembenihan secara semi alami atau semi buatan adalah kegiatan untuk memproduksi benih yang sebagian dari kegiatan tersebut sudah ikut campur tangan manusia; 3) Pembenihan secara buatan adalah kegiatan untuk memproduksi benih yang semua kegiatannya adalah campur tangan manusia.         
Pembenihan menyangkut dua hal yaitu ”Breeding dan Seeding”. Breeding yaitu segala perlakuan atau treatmen terhadap induk sehingga menghasilkan larva. Sedangkan Seeding adalah penanganan mulai dari larva sampai dengan benih yang siap untuk di pasarkan (Hayati, 2004).


2.2.1. Syarat Lokasi Pembenihan
Fasilitas yang harus dimiliki oleh suatu balai benih ikan adalah : 1) Kolam pemijahan; 2) Kolam pendederan; 3) Kolam pemeliharaan calon induk; 4) Kolam penampung calon benih; 5) Kolam pemberokan; 6) Kolam filter dan reservoir; 7) Kolam pemeliharaan ikan donor, dan ; 8) Peralatan bahan lainnya (Khairuman dan Amri, 2002).

2.2.2. Komponen Pembenihan
            Pemijahan buatan atau kawin suntik dapat dilakukan apabila induk telah matang gonad, langkah selanjutnya adalah penyuntikan hormon, menurut Sutisna dan Sutarmanto (1995), teknik penyuntikan dapat dibagi tiga yaitu : 1) Intramuscular (penyuntikan di dalam otot); 2) Intraperitorial (penyuntikan pada rongga perut); 3) Intracranial (penyuntikan pada rongga otak melalui tulang occipital bagian yang tipis).
            Penyuntikan di dalam otot yaitu  jarum suntik tersebut di arahkan ke dalam otot punggung bagian belakang yang kemiringan jarum suntik 45 derajat, penyuntikan pada rongga perut ini yaitu ikan tersebut dibaringkan dan disuntik dari arah samping perut diantara rongga tulang perut, dan pada penyuntikan pada rongga otak melalui tulang occipital bagian yang tipis ini yaitu jarum suntik diantara tulang pangkal kepala dan tulang pangkal punggung ikan.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemijahan dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1) Faktor eksternal meliputi : suhu, curah hujan, intensitas cahaya, dan sebagainya; 2) Faktor internal meliputi : kematangan gonad, ketersediaan hormon, dan hormon gonadotropik.
           
2.2.3. Teknologi Pemeliharaan Induk
            Tujuan utama Pemeliharaan Induk adalah agar dapat menghasilkan induk yang mempunyai kualitas prima. Mutu induk selain ditentukan dari segi genetiknya juga sangat ditentukan oleh cara perawatan induk tersebut, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu kolam pemeliharaan dan pakan (Hernowo, 2001).
            Menurut Djariajah (2001), pematangan gonad dilakukan selama 3-4 bulan dengan kepadatan 3-5 ekor/m2. Makanan yang diberikan untuk induk sebaiknya memiliki kandungan protein yang tinggi, tetapi kadar lemaknya rendah. Ditambahkan oleh Hernowo (2001), apabila menggunakan pakan komersial, sebaiknya pakan tersebut ditingkatkan mutunya dengan pengayaan (enriched), caranya dengan menambahkan nutrisi serta vitamin C ke dalam pakan komersial tersebut.
            Menurut Khairuman dan Suhenda (2002), ciri-ciri induk betina yang matang gonad biasanya berumur kurang lebih 3 tahun dengan berat minimal 1,5 – 3 kg/ekor. Pada bagian perut kelihatan agak membesar ke arah anus dan bagian lubang genitalnya berwarna kemerahan. Sedangkan ciri-ciri induk jantan yang matang gonad berumur minimal 2 tahun dengan berat 1,5 -2 kg/ekor. Alat kelamin membengkak dan berwarna merah tua dan apabila diurut ke arah anus akan mengeluarkan sperma berwarna putih susu.


2.2.4. Pemijahan
            Pemijahan adalah suatu proses pengeluaran sel telur oleh induk ikan betina dan sperma oleh induk jantan yang kemudian diikuti dengan pembuahan. Pemijahan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : pemijahan alami, pemijahan semi alami, dan pemijahan buatan. Ikan patin hanya dapat dipijahkan secara buatan (Hayati, 2004).
            Hernowo (2001) menyatakan bahwa, pemijahan buatan dapat dilakukan dengan cara menstriping atau mengurut perut sampai ke arah lubang kelamin induk jantan dan induk betina. Agar telur dan sperma dari induk-induk yang telah disuntik tersebut dapat dikeluarkan. Proses penstripingan ini dapat dilakukan beberapa jam setelah penyuntikan.
            Pembuahan dilakukan dengan cara mencampur telur dan sperma yang diaduk secara perlahan dengan menggunakan bulu ayam selama lebih kurang 2 menit dan kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih (aquades) untuk menghilangkan lendir. Agar daya rekat telur hilang dan menghindari penggumpalan pada telur, maka dilakukan pencucian dengan emulsi lumpur yang terlebih dahulu telah dipanaskan pada suhu 1000 C guna menghindari penyakit (Khairuman dan Suhenda, 2002).

2.3. Penetasan dan Pendederan
            Penetasan merupakan saat terakhir dari masa pengeraman (inkubasi) sebagai hasil dari beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya (Effendi, 1997). Penetasan terjadi karena adanya : a) Kerja mekanik oleh karena embrio sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkangnya, dengan pergerakan tersebut bagian cangkang telur yang lembek akan pecah sehingga embrio akan keluar dari cangkangnya; b) Kerja enzimatik yaitu enzim dan unsur kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal didaerah pharink embrio (Lagler et al, 1972).
            Penetasan akan terjadi semakin cepat bila embio yang ada dalam cangkang
semakin aktif bergerak. Aktivitas embrio dan pembentukan chorionase dipengaruhi oleh : 1) Faktor dalam yaitu hormone (yang dihasilkan oleh hipofisa dan tyroid dan berperan dalam proses metamorfosa) dan volume kuning telur (berperan dalam perkembangan embrio); 2) Faktor luar yaitu suhu, pH, salinitas, gas-gas terlarut (O2, CO2, NH3) dan intensitas cahaya (Nikolsky dalam Sukendi, 2005).
            Hardjamulia dalam Syafrizal (2004) menyatakan bahwa penetasan telur ikan pada suatu sistem terkontrol dapat mengatasi salah satu fase kritis dalam pembenihan, mulai dari telur sampai penetasannya.
            Nuraini (2001) menyatakan bahwa, proses penutupan blastopor kemudian masuk kepada fase perkembangan embrio. Tanda-tanda aktifitas embrio ikan terlihat dari pergerakan dan sering kali merupakan bagian yang penting dalam proses penetasan. Proses ini terlihat bila embrio telah lebih panjang dari lingkaran kuning telur. Selama penetasan, larva bergerak-gerak sampai lepas dari kapsul telur, dan membutuhkan suhu yang cocok dan suplay oksigen yang cukup.
            Susanto dan Amri (2001) menyatakan bahwa telur disebarkan di dalam aquarium yang disiapkan sebelumnya, yang diberi air bersih dan diaerasi. Selanjutnya, diusahakan telur ikan jangan sampai menumpuk karena berakibat telur akan membusuk, oleh karena itu disebarkan dengan menggunakan bulu ayam agar telur tidak pecah.
            Menurut Susanto (1996), untuk mengatur suhu tempat penetasan agar tetap konstan dapat digunakan heater dan thermostat pada tempat penetasan atau dapat juga dilakukan dengan cara memasukkan air segar ke tempat penetasan sehingga akan menstabilkan suhu air.
            Pendederan merupakan kegiatan pemeliharaan larva ikan patin dari umur 14 hari sampai ukuran benih berkisar ukuran 5-10 cm yang siap untuk dibesarkan. Kegiatan pendederan meliputi persiapan kolam, penebaran benih, pengelolaan rutin dan pemanenan (Arie, 1996).
            Pemeliharaan di kolam pendederan berlangsung selama 14 hari. Kemudian dipanen dengan cara menyurutkan air kolam secara perlahan-lahan sampai mencapai ketinggian tertentu. Benih diambil sedikit demi sedikit dan ditampung di bak penampungan. Benih yang berumur 14 hari ini biasanya sudah berukuran 1-2 inci (Pataros dan Sitasit, 1976).
            Hardjamulia (1975) menyatakan bahwa penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi hari dengan padat penebaran 100 ekor/m2. Pengontrolan dilakukan setiap hari untuk memantau keadaan kolam, air masuk, hama dan penyakit.

2.4. Pemeliharaan Larva dan Benih
            Pemeliharaan larva dilakukan dengan pemberian makanan, penggantian air, pemberian aerasi, dan penyiponan untuk pembuangan makanan yang tersisa atau kotoran dan bangkai larva. Makanan diberikan setelah larva berumur 5-7 hari sejak menetas, jenis makanan yang diberikan adalah makanan alami berupa plankton hewani atau nabati yang diambil dari perairan (Puspowardoyo dan Djarijah, 2003).
            Menurut Sulistidjo (1980) rendahnya produksi benih karena sifat fisik dan kimia air yang digunakan pada tempat pembenihan kurang baik, sifat fisik dan kimia air tersebut meliputi kekeruhan atau kecerahan, konsentrasi oksigen terlarut, pH, karbondioksida bebas, suhu dan unsur-unsur kalium mempengaruhi aktivitas hidup ikan secara langsung maupun tidak langsung.
            Perubahan kualitas air yang tiba-tiba dapat membahayakan kehidupan larva dan benih. Untuk itu perlu perhatian yang intensif (Chakroff, 1976). Selanjutnya menurut Cholic et al (1986) kriteria kualitas air yang baik adalah mengandung 5 ppm oksigen terlarut, pH berkisar 6,5-7 dan cukup mengandung zat hara, tidak mengandung gas-gas beracun (NH3 , H2S atau CO3) dan tidak terkontaminasi.

2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Patin
Makanan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ikan. Untuk merangsang pertumbuhan, diperlukan jumlah dan mutu makanan yang tersedia dalam keadaan cukup serta sesuai dengan kondisi perairan (Asmawi, 1986).
            Makanan yang didapat oleh ikan digunakan untuk kelangsungan hidup, kelebihannya baru untuk pertumbuhan. Jadi, kalau menginginkan pertumbuhan yang baik, maka yang diperhatikan sejumlah makanan yang melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh ikan tersebut (Jangkaru, 1974).
            Menurut Djariah (2001), Ikan patin memerlukan sumber energi yang berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke arah karnivora.
Susanto dan Amri (2002) menjelaskan, di alam makanan utama ikan patin berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan pelengkap ikan patin berupa rotifera, ikan kecil dan daun-daunan yang ada di perairan. Apabila dipelihara di jala apung, ikan patin ternyata tidak menolak diberi pakan, sesuai dengan penelitian Arifin (1993) dalam Cholik et al (2005) yang menyatakan bahwa ikan patin sangat tanggap terhadap pakan buatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjaga kesehatan dan mempercepat pertumbuhan ikan patin adalah : 1) Benih berumur 15 hari sebaiknya diberi pakan berupa artemia agar pertumbuhannya lebih cepat dan gerakannya menjadi gesit; 2) Benih berumur 30 hari dapat diberikan pakan berupa tubifex yang dikombinasikan dengan pakan pellet serbuk; 3) Patin dewasa dapat diberi pakan berupa pellet tenggelam (Cahyono, 2001).

2.6. Kualitas Air
            Air sebagai media hidup haruslah diperoleh dengan mudah dan mengalir  dalam sejumlah yang cukup sepanjang tahun dengan kualitas yang baik, namun jumlah tidak boleh berlebihan yang dapat mengakibatkan banjir (Suseno, 1977).
            Kualitas air memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap survival dan pertumbuhan larva. Menurut Sulistidjo, Nondji, dan Soergiarto (1980), rendahnya reproduksi benih ikan karena sifat fisika kimia air yang digunakan pada tempat pembenihan kurang baik. Beberapa parameter fisika dan kimia perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan adalah suhu, konsentrasi oksigen terlarut, karbondioksida, amoniak, pH, alkalinitas dan kekeruhan.
            Dalam proses pembenihan ikan patin air yang digunakan sebaiknya air yang tidak mengandung racun (sumber air bisa diperoleh dari air tanah, air sungai, air danau atau waduk dan sebelum air tersebut digunakan terlebih dahulu air diendapkan atau didiamkan lebih kurang 1 hari agar unsur-unsur kimia dan bakteri yang terkandung di dalamnya tidak terbawa pada saat digunakan di wadah atau akuarium.

2.7. Hama dan Penyakit

            Hama dan penyakit adalah binatang tingkat tinggi yang langsung mengganggu ikan dengan cara menghisap cairan atau memakan sebagian atau seluruh tubuh ikan hingga menimbulkan luka atau menyebabkan kematian (Irwan, 2004).
            Supaya larva ikan dalam keadaan sehat, maka perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit, dan tindakan pencegahan harus mendapatkan prioritas dan perhatian khusus dalam pengobatannya. Usaha pencegahan infeksi ikan itu sendiri bisa terjadi dari usaha pengendalian dan pembasmian. Usaha pengendalian adalah mengurangi terjangkitnya suatu penyakit seminimal mungkin, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin. Sedangkan pembasmian adalah menghilangkan penyakit tertentu secara tuntas, sehingga sumber penyakit dimusnahkan dan usaha pencagahan adalah dengan melaksanakan upaya pembersihan secara berkesinambungan baik terhadap kolam atau tambak pemeliharaan, ikan yang dipelihara maupun seluruh peralatan yang digunakan (Irwan, 2004).
            Sunyoto (1994) menyatakan bahwa penyakit didefinisikan sebagai gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat tubuh atau sebagian alat tubuh ikan. Penyakit dapat menyebabkan kematian, kekerdilan, periode pemeliharaan lebih lama, tingginya konfersi makanan pada padat penebaran yang lebih rendah dan hilangnya atau menurunnya produksi. Penyakit dapat disebabkan antara lain karena stress, organisme pathogen, perubahan lingkungan, factor racun dan kekurangan nutrisi.
Penyakit yang sering menyerang ikan patin terdiri dari dua golongan yaitu
penyakit infeksi yang timbul karena gangguan organisme patogen dan penyakit
non infeksi yang timbul karena organisme lain. Penyebab penyakit infeksi adalah
parasit, bakteri dan jamur yang dapat menular. Sedangkan penyebab penyakit non
infeksi adalah keracunan dan kekurangan gizi.
Parasit dapat dikendalikan dengan metil biru atau methilene blue konsentrasi 1% (satu gram metil biru dalam 100 cc air). Pengendalian jamur menggunakan malachyt green oxalate sejumlah 2-3 g/m air (1 liter) selama 30
menit. Sedangkan penyakit bakteri dapat dibasmi dengan merendam ikan dalam
larutan kalium permanganat (PK) 10-20 ppm selama 30-60 menit, merendam
ikan dalam larutan nitrofuran 5- 10 ppm selama 12-24 jam atau merendam ikan
dalam larutan oksitetrasiklin 5 ppm selama 24 jam.





III. METODE PRAKTEK

3.1. Waktu dan Tempat
Praktek magang ini akan dilakukan pada bulan Januari sampai Februari 2012, yang rencananya akan dilaksanakan di Balai Benih Ikan Sentra (BBIS) Sungai Tibun Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau.

3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktek magang ini adalah induk ikan patin (Pangasius pangasius) yang sudah matang gonad dan medianya yang terdapat di Balai tersebut.
Sedangkan alat yang digunakan adalah pH meter untuk mengukur derajat keasaman air (pH), thermometer untuk mengukur suhu, DO meter untuk menghitung oksigen terlarut, spektrometer untuk mengukur amoniak, alat titrasi untuk mengukur hardness, aquarium, aerator dan alat-alat tulis seperti buku tulis, pena, pensil, penggaris, dan kuisioner serta kamera untuk dokumentasi dari kegiatan magang ini.

3.3. Metode Praktek
Metode yang digunakan dalam praktek magang ini adalah metode survey yaitu melakukan pengamatan langsung dan aktif melakukan praktek langsung  di lapangan pada objek-objek pendederan induk ikan patin (Pangasius pangasius).
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari wawancara dengan pegawai Balai Benih Ikan Sentra (BBIS) Sungai Tibun Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan, Kepala Desa setempat, serta instansi terkait yang berhubungan dengan data yang diperlukan, serta ditambah dengan literatur yang mendukung kelengkapan dan kejelasan mengenai data yang didapatkan tersebut.

3.4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari Balai Benih Ikan Sentra (BBIS) Sungai Tibundikumpulkan dan ditabulasikan dalam bentuk tabel serta dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang keadaan Balai Budidaya Air Tawar Tibun dan masalah yang dihadapi serta dicari alternatif pemecahannya.

3.4.1. Data Primer
Data primer yang didapatkan melalui wawancara dengan pegawai Balai Budidaya Air Tawar Tibun. Selanjutnya data yang dipeoleh dianalisis secara deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui keadaan Balai Benih Ikan Sentra (BBIS) Sungai Tibun serta permasalahan dan prospek pengembanganya dimasa yang akan datang.
Tabel 1. Parameter Kualitas Air Pada Bak-Bak Pemeliharaan Induk Ikan Patin di BBl Tibun
No
Parameter
Hasil Pengukuran
1
pH

2
DO

3
Suhu

4
Amoniak





Tabel 2. Parameter Kualitas Air Pada Bak-Bak Pemijahan Ikan Patin di BBl Tibun
No
Parameter
Hasil Pengukuran
1
pH

2
DO

3
Suhu

4
Amoniak


Tabel 3. Parameter Kualitas Air Pada Bak-Bak Pemeliharaan Larva Patin di BBl Tibun
No
Parameter
Hasil Pengukuran
1
pH

2
DO

3
Suhu

4
Amoniak


Berdasarkan Tabel 1, 2, dan 3 di atas dapat diketahui parameter kualitas air pada berbagai wadah seperti bak pemeliharaan induk, bak pemijahan dan bak pemeliharaan larva. Pengukuran kualitas air ini akan menentukan bahwa apakah kondisi perairan di Balai Budidaya Air Tawar Tibun memenuhi syarat untuk dijadikan tempat pembenihan dan usaha budidaya ikan.

Tabel 4. Pemberian Pakan Ikan Patin Pada Tahap Pendederan di BBI Tibun
No
Jenis pakan
Dosis
Frekuensi
Waktu
Alami
Buatan































Dari Tabel 4 tersebut di atas, dapat diketahui tentang pemberian pakan pada budidaya ikan patin. Selanjutnya kita dapat memperoleh gambaran hubungan pemberian pakan tersebut dengan produksi ikan patin di Balai Budidaya Air Tawar Tibun.

Tabel 5. Persentase Benih Pada Bak Pemeliharaan di BBI Tibun
Bak
Penebaran larva/ekor
Jumlah benih yang dipanen/ekor
FR (%)
HR%
SR%
    1





    2





    3





  Dst





Jumlah






Berdasarkan Tabel 5 di atas, maka dapat diketahui jumlah telur/butir yang dihasilkan oleh induk ikan patin, setelah itu kita dapat menentukan derajat pembuahan (FR%) yaitu dengan perbandingan antara jumlah telur yang dibuahi  dengan jumlah telur yang dihasilkan dikalikan dengan seratus persen, derajat penetasan (HR%) yaitu dengan perbandingan antara jumlah telur yang menetas  dengan jumlah telur yang terbuahi dikalikan dengan seratus persen, serta derajat kelulushidupan (SR%) yaitu dengan perbandingan antara jumlah telur yang hidup dengan jumlah telur yang menetas dikalikan dengan seratus persen, penghitungan nilai SR% dilakukan setiap satu minggu sekali.

3.4.2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari wawancara ditabulasikan dalam tabel. Data yang diperoleh dianalisis dan akan ditarik kesimpulan. Adapun tabel yang diperlukan adalah sebagai berikut:



Tabel 6. Tingkat Pendidikan Tenaga Pelaksana Di BBI Tibun
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase
   1
Magister


   2
Sarjana


   3
Sarjana Muda


   4
SLTA


   5
SLTP



Dari Tabel 6 di atas dapat diketahui tingkat pendidikan tenaga pelaksana di Balai Budidaya Air Tawar Tibun. Ini berguna untuk mengetahui perkembangan pendidikan pekerja-pekerja di BBI Tibun dalam usaha pengembangan pada masa yang akan mendatang.
Tabel 7. Jumlah Pegawai dan Status Kepegawaian  Di BBI Tibun
No
Status Kepegawaian
Jumlah
Persentase
   1
Teknisi


   2
Pegawai


   3
Tata Usaha


   4
Dll


   5
Jumlah



Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat diketahui status kepegawaian dan jumlah pegawai yang ada di BBI Tibun. Status kepegawaian yang didata meliputi teknisi, pegawai, tata usaha dan lain-lainnya. Dari tabel ini juga dapat diketahui jumlah keseluruhan pegawai yang ada dan persentasenya di BBI Tibun.
Tabel 8. Tingkat Keahlian Tenaga Pelaksana Di BBI Tibun
No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase
   1
Tenaga Ahli


   2
Tenaga Terampil


   3
Tenaga Pembantu



Berdasarkan Tabel 8 di atas dapat diketahui keahlian tanaga pelaksana di BBI Tibun, sehingga mempunyai bidang keahlian masing-masing untuk pembenihan ikan yang intensif untuk mencapai hasil budidaya yang optimal.

Tabel 9. Jumlah dan Luas Kolam  di BBI Tibun
No
Jenis Kolam
Jumlah
Bentuk
Ukuran
Luas
1





2





Dst





Jumlah






Dari Tabel 9 di atas dapat diketahui berapa jumlah, bentuk, ukuran, dan luas kolam yang ada dan perkembangannya, hal ini erat kaitannya dengan kegiatan budidaya ikan patin di BBI Tibun.





Tabel 10. Jumlah dan Luas Kolam  di BBI Tibun
No
Jenis Kolam
Bahan
Bentuk
Jumlah
Ukuran
Luas
1






2






Dst






Jumlah







Dari Tabel 10 di atas dapat diketahui berapa jumlah, bahan, bentuk, ukuran  dan luas kolam yang ada dan perkembangannya, hal ini erat kaitannya dengan kegiatan budidaya ikan patin di BBI Tibun.

Tabel 11. Keadaan Sarana dan Prasarana yang ada di BBI Tibun
No
Sarana dan Prasarana
Jumlah (unit)
Keadaan
1



2



3



Dst



Jumlah



Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui keadaan sarana dan prasarana yang ada di BBI Tibun. Sarana dan prasarana yang ada merupakan fasilitas yang dapat mendukung semua kegiatan yang ada di BBI Tibun.





DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, S. 1986. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba. Cetakan Kedua. PT. Gramedia, Jakarta. 44 hal.

Arie, U. 1996. Teknik Pemijahan Lele Bangkok Alias Si Jambal Siam. Koran Pertanian Sinar Tani, Nomor 2517-Tahun XXVI. Hal V.

Djarijah.A.A.2001. Budidaya Ikan Patin. Kanasius. Yogyakarta 87 hal.

Hayati, U. 2004. Keadaan Pembenihan Ikan Patin pada Hatchery Suhaimi di Desa Koto Masjid Kecamatan 13 Koto Kampar Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Usulan Praktek Umum. UIR. Pekanbaru. 28 hal.

Hernowo. 2001. Pembenihan Patin Skala Kecil dan Besar Serta Solusi Permasalahan. Penebar Swadaya. Jakarta. 66 hal.

Hardjamulia, A. 1975. Cara Memelihara dan Menternakkan Ikan Jambal Siam. Departemen Pertanian, Jakarta.

Irwan , A, H. 2004. Menanggulangi Hama dan Penyakit Ikan. CV. Aneka Solo, Solo. 84 hal.

Jangkaru, Z. 1974. Makanan Ikan Lembaga Penelitian Perikanan Barat. Kotellat, M. A. J. Whitten,S. N Kartikasar dan Wirjoatmojo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi, Periplus Edition. Bogor. 3 hal.

Khairuman dan Suhenda D. 2002. Budidaya Ikan Patin Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta. 89 hal.

Lagler, K.F, 1972.  Freshwater Fishery. Biology. Wm. C. Brown Company Publisher. Dubuque Lowa.

Miswanto, 2002. Perbenihan Patin. Laporan Magang Fakultas Perikanan UNRI. 59 hal (tidak diterbitkan).

Nuraini, 2001. Penuntun Praktikum Manajemen Produksi Pembenihan Ikan. Pekanbaru. 38 hal.

Patent, D.H.1976. Fish and How They Reproduce. Holiday Huse. New York. 128p.

Prihartono, R. E, J. Rasidik dan Usni, A. 2003. Mengatasi Permasalahan Budidaya Lele Dumbo, Penebar. Swadaya. Jakarta. 81 hal.

Puspowardoyo, H dan Djarijah, A. S. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Patin Hemat Air. Kansus, Yogyakarta. 59 hal.

Pataros, M. dan P. Sitasit. 1976. Induced Spawning . Teknical Paper No. 15 Freswater Fisheries Division. Departement of Fissheries Bangkok, Thailand. 14 p.
Saanin 1984, Subagja Y. 2009. Fortifikasi ikan patin (Pangasius sp) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sarwisman, 2002. Pembenihan Ikan Patin. Laporan Magang Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan UR. 52 hal (tidak diterbitkan )

Susanto, 1996. Teknik Kawin Suntik Ikan Ekonomis. Penebar Swadaya, Jakarta. 45 hal.

Susanto. Dan K, Amri. 2001. Budidaya Ikan Patin, Penebar Swadaya, Jakarta. 90 hal.
Sutisna, H dan R. Sutarmanto, 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar Kansius, Yogyakarta. 135 hal.

Suseno, S. 1977. Dasar-dasar Perikanan Umum. CV. Yasaguna. Jakarta. 60 hal.

Sulistidjo, A. Nontji dan Soegiarto. 1980. Potensi dan Usaha Pengembangan Budidaya Perairan di Indonesia. Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi. Lembaga Oseonologi Nasional LIPI. Jakarta. 154 hal.
Sunyoto, P. 1994. Pembesaran Kerupu. Penerbit Swadaya. Jakarta. 65 hal.

Tang U. M. 2000. Teknik Budidaya Ikan Baung (Mystus nemurus C. V). 76 hal (tidak diterbitkan). Direktorat Jenderal Perikanan, Bogor. 49 hal











Tidak ada komentar:

Posting Komentar